Minggu, 31 Maret 2013

Perginya Seorang Sahabat

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ahmad Syafii Maarif

Suatu ketika, beberapa tahun yang lalu, ketua sebuah lembaga di lingkungan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mendapat undangan dari Jerman untuk menghadriri pertemuan si sana. Teman ini memerlukan bantuan untuk beli tiket pergi-pulang sebesar 1.000 dolar AS. Pengusaha Deddy Julianto saya kontak jika mungkin membantu. Tanpa banyak bertanya, langsung dijawab oke.

Pengalaman lain banyak sekali untuk dicatat dalam perkara bantu-membantu ini. Pak Deddy adalah seorang pengusaha nyah-nyoh (suka memberi) terhadap siapa saja yang memerlukan bantuan, termasuk membantu panti asuhan di Jawa Tengah.

Entah sudah berapa ratus juta yang dikeluarkan untuk kepentingan sosial. Kadang-kadang juga dibantunya anak-anak muda yang terlibat dalam pembentukan partai politik, sekalipun mereka berujung pada kegagalan. Anak-anak muda yang punya ambisi politik ini pada umumnya hanya punya modalidealisme, sedangkan modal ekonomi hampir tidak mereka miliki.

Akibatnya, mereka sering terombang-ambing menghadapi realitas politik yang ganas, akibat selera dan gesekan kepentingan para pemodal. Saat saya tidak lagi duduk di jajaran PP Muhammadiyah pada Juli 2005, Pak Deddy langsung menawarkan agar mau tinggal di apartemen bila ada keperluan ke Jakarta, tidak lagi lingkungan kantor PP Muhammadiyah di kawasan Menteng Raya. Maka, kemudian didapatlah sebuah apartemen di Taman Rasuna, Kuningan.

Semula disewa di lantai 19, kemudian malah dibelinya yang berada si Tower 2 Lt 10B yang saya tempati sampai hari ini jika ke Jakarta. Semua biaya adalah tanggungan sahabat kita ini. Pernah saya mau pindah ke kantor Maarif Institute di kawasan Teber, Pak Deddy tetap saja menyarankan agar tetap saja di Kuningan. Saya tidak tahu mengapa perhatian Pak Deddy atas diri saya demikian besar, padahal untuk sekadar tinggal selama satu atau dua hari di Jakarta dengan kekuatan sendiri masih mungkin.

Bukan saja Pak Deddy, anak sulungnya Defy dan sopirnya Gazali turut pula peduli dalam mengurus saya. Saya tidak mungkin membalas jasa keluarga ini yang telah berbuat baik selalma bertahun-tahun kepada saya. Tidak hanya sampai disitu. Pernah pula saya diberi kartu kredit BNI yang boleh digunakan untuk keperluan transaksi keuangan, termasuk untuk beli tiket pesawat, sekalipun saya tidak sampai hati menggunakannya. Mungkin karena tidak pernah dimanfaatkan itu, setelah dua tahun tidak diperpanjang lagi.

Cobalah anda bayangkan, betapa Pak Deddy "memanjakan" saya, yang tidak punya pertalian darah apapun. Ada ketentuan di BNI, kartu kredit hanya diberikan kepada orang yang berusia di bawah 60 tahun, padahal saya ketika itu sudah kepala tujuh. Karena Dirut BNI adalah teman dekatnya, kartu ini diberikan juga.

Kini sahabat saya ini setelah operasi jantung by-pass di RS Harapan Kita pada 13 Maret, hari berikutnya sekitar pukul 11.40 WIB telah dipanggil Allah SWT untuk selama-lamanya. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un, semoga husnul khatimah, amin.

Pak Deddy punya jaringan yang luas, baik dengan sesama pengusaha, lintas agama, para jendral, maupun dengan polotikus dan anak-anak muda. Sebagai alumnus PII (Pelajar Islam Indonesia) dengan tempaan semangat perjuangan yang kental, Pak Deddy punya kepedulian terhadap masalah-masalah bangsa dan negara.

Mungkin pada sisi inilah pandangan Pak Deddy dan pandangan saya bertemu pada suatu titik, sekalipun tidak banyak yang dapat disumbangkan untuk keperntingan bangsa dan negara yang sarat beban ini.

Sahabat dekatnya banyak sekali, diantaranta Ir. Salahudin Wahid dan Dr. dr. Wahyu Kasih, SH, MM. Untuk Pak Salahudin, tidak perlu lagi dikomentari karena sudah sangat terkenal. Tetapi, buat Bung Wahyu, catatan apresiatif perlu ditambahkan dalam kaitannya dengan Pak Deddy dan dunia pendidikan. Sebagai seorang pengusaha yang berhasil, Bung Wahyu, seorang penganut agama Buddha berasal dari Kalimantab, telah sejak lama mengembangkan STIE Kasih Bangsa di kawasan Kebon Jeruk, sebuah sekolah setengah gratis untuk mahasiswa serba kekurangan.

Pak Deddy dan saya telah diminta untuk susuk sebagai pembina kehormatan sekolah ini. Hebatnya, belum lagi rampung kuliah, mahasiswa STIE telah diserap dunia kerja. Pekerjaanlah yang mencari mereka, bukan sebaliknya.

Selama Pak Deddy sirawat sampai dioperasi, Bung Wahyu telah terlibat secara kejiwaan dalam menunggui sahabat kita ini. Dalam proses pemakaman menjelang shalat Jumat, 15 Maret, di kawasan Pondok Kopi, Jakarta Timur, saya perhatikan betul wajah Bung Wahyu yang menanggung perasaan berat melepas sahabat kami ini. Selamat jalan Pak Deddy Julianto, semoga dalam perjalanan di alam sana, semuanya berjalan lancar di bawah naungan rahmat, ampunan dan keridhaan Allah. Dan kepada keluarga yang ditinggal diberikan-Nya ketabahan, kesabaran, dan ketegaran dalam menghadapi musibah kematian yang tidak ringan ini. Kita semua pasti menyusul, cepat atau lambat!


Redaktur : M Irwan Ariefyanto
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/03/19/mjwtqp-perginya-seorang-sahabat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar